Asta kang gemeter kepangan mangsa
Rikma kang pethak kebak pralambang gesang
Netra kang wis wiwit kurang trawaca
Biyung...
sih katresnan tansah sumandhang
tan bisa luntur kepangan jaman
donga pangarep ing putra
tansah lumuntur ka adhep Mring Pangeran
tanpa pangarep ing pamrih
Biyung....
Selasa, 20 April 2010
Senin, 19 April 2010
Membila Noda yang Melekat di Hati
mengutip dari postingan facebook P. Djojok S.
=============================================
“Bismillaahirrohmaanirrohiim. Ilaahi anta maksuudi waridoka matluubi ’atinii mahabbataka wama’arifataka.”
Mari kita berimajinasi bahwa kamarau panjang telah datang, daun-daun tertunduk layu, kemudian jatuh berguguran di halaman. Kita berusaha menyapu, menyapu, lalu menyapu dengan sapu lidi yang panjangnya tak seukuran. Halaman bersih, namun tak lama daun-daun kembali berserakan.
Sama seperti kondisi tersebut, pada hati manusia pun debu tak henti-hentinya datang beterbangan, lalu melekat menjadi kotoran, noda, yang akhirnya bertumpuk menjadi mengerat menjadi dosa. Setiap saat terus melekat silih berganti mesti sering dibersihkan. Oleh sebab itu, kita tidak boleh lalai, tidak boleh lengah memegang serbet keyakinan dan keimanan untuk membersihkannya. Membersihkan noda-noda yang menempel di hati manusia akan lebih sulit dibandingkan dengan menyapu daun kering yang berjatuhan di halaman.
“Ki o tsukazu, me ni mo mie nedo, itsu to naku, hokori no tamaru, tamoto narikeri”. (5-7-5-7-7). Puisi Jepang (haiku) ini saya temukan dalam sebuah buku bacaan bahasa Jepang. Maknanya sangat sesuat dengan tema tulusan di tas. Oleh karena itu saya coba untuk mengutipnya. Puisi tersebut mengisyaratkan bahwa manusia tanpa disadarinya, tanpa diketahuinya, setiap saat hatinya akan menjadi kotor oleh debu kehidupan dunia. “Apa sebenarnya yang mengotori hati manusia?”
Sudah tentu sama halnya dengan yang membuat kotor “cermin jernih” yang pertama kali diperoleh manusia Tuhannya, yang membuat kotor hati manusia adalah “keinginan”, “keakuan”, “keegoan”, “gairah yang berlebihan”, “lalai terhadap perintah-Ny”, dan masih banyak lagi. Kalau kotoran di halaman hanya disebabkan daun yang berguguran, tetapi kotoran di hati disebabkan oleh banyak hal terutama perbuatan yang menyimpang dari perintah-Nya.
Harus disadari, hati juga punya kebiasaan yang sulit diubah. Kalau kita bukan orang yang cerdik, jangan berharap mita mampu membersihkan debu yang bertumpuk di hati kita, karena hati pada hakekatnya sangat suka menyedot debu-debu agar melekat pada dirinya. Oleh sebab itulah, untuk mencegah debu tidak mudah melekat di hati, kita harus senantiasa mendekatkan diri pada cahaya Ilahi yang terpancar dari “cermin jernih“ yang pertama kali kita terima.
“Hibi ni tsumoru kokoro no chiri akuta, arai nagashite, waga o tasukeyou”. Puisi Jepang (haiku) ini karya Ninomiya Sontoku yang sangat terkenal. Interprestasi saya adalah, “kalau kita selalu membersihkan kotoran yang melekat di hati, maka kita akan tertolong dari kehidupan yang fana ini. “Nafsu” merupakan musuh besar dalam kehidupan manusia. “Waga” dalam ”waga tasukeyo” bermakna “sejatinya diri manusia”, artinya sama dengan “masu kagami” (cermin yang jernih). Manusia harus berkorban dalam hidupnya untuk membersihkan kotoran-kotoran yang bertimbun di hatinya.
Sejak kita lahir orang tua kita sudah beruhasa sekuat tenaga dan pikirannya memberi bimbingan, mendidik, dan berdo’a agar kita mampu mengibaskan debu-debu yang datang melekat pada hati kita. Akan tetapi, “keinginan”, “ego”, “kesombongan” diri kita yang dibawa oleh “reikon” atau saya sebut saja “syaitan” yang maha licik, telah meluluhlantakkan fondasi yang ditanamkan orang tua kita. Orang tua kita dalam do’anya kadang menangis menyesali pengharapannya yang gagal menjadikan kita anak yang saleh. “Audzubilahhimindzalik”, jangan sampai kita menjadi anak yang membuat orang tua kita menagis karena ulah dan prilaku kita.
Bahagianlah orang tua kita dengan menjadi anak yang saleh karena sesungguhnya Allah telah berfirman, “Dan, sesungguhnya telah kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwa bumi ini dipusakai hamba-hambak-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiyaa’:105)
Semoga kita tergolong orang-orang yang soleh yang mampu membahagiakan ke-dua orang tua kita, keluarga kita, sesama manusia di muka bumi ini. “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu, dengan kemulyaan-mu dan kerendahan kami, dengan kekuatan-mu dan kelemahan kami, dengan kekayaan-Mu dan kemiskinan kami, agar Engkau mau berbelas kasih kepada kami, bersihkanlah hati kami dari keraguan terhadap segla kekuasaan-Mu. Amiin
=============================================
“Bismillaahirrohmaanirrohiim. Ilaahi anta maksuudi waridoka matluubi ’atinii mahabbataka wama’arifataka.”
Mari kita berimajinasi bahwa kamarau panjang telah datang, daun-daun tertunduk layu, kemudian jatuh berguguran di halaman. Kita berusaha menyapu, menyapu, lalu menyapu dengan sapu lidi yang panjangnya tak seukuran. Halaman bersih, namun tak lama daun-daun kembali berserakan.
Sama seperti kondisi tersebut, pada hati manusia pun debu tak henti-hentinya datang beterbangan, lalu melekat menjadi kotoran, noda, yang akhirnya bertumpuk menjadi mengerat menjadi dosa. Setiap saat terus melekat silih berganti mesti sering dibersihkan. Oleh sebab itu, kita tidak boleh lalai, tidak boleh lengah memegang serbet keyakinan dan keimanan untuk membersihkannya. Membersihkan noda-noda yang menempel di hati manusia akan lebih sulit dibandingkan dengan menyapu daun kering yang berjatuhan di halaman.
“Ki o tsukazu, me ni mo mie nedo, itsu to naku, hokori no tamaru, tamoto narikeri”. (5-7-5-7-7). Puisi Jepang (haiku) ini saya temukan dalam sebuah buku bacaan bahasa Jepang. Maknanya sangat sesuat dengan tema tulusan di tas. Oleh karena itu saya coba untuk mengutipnya. Puisi tersebut mengisyaratkan bahwa manusia tanpa disadarinya, tanpa diketahuinya, setiap saat hatinya akan menjadi kotor oleh debu kehidupan dunia. “Apa sebenarnya yang mengotori hati manusia?”
Sudah tentu sama halnya dengan yang membuat kotor “cermin jernih” yang pertama kali diperoleh manusia Tuhannya, yang membuat kotor hati manusia adalah “keinginan”, “keakuan”, “keegoan”, “gairah yang berlebihan”, “lalai terhadap perintah-Ny”, dan masih banyak lagi. Kalau kotoran di halaman hanya disebabkan daun yang berguguran, tetapi kotoran di hati disebabkan oleh banyak hal terutama perbuatan yang menyimpang dari perintah-Nya.
Harus disadari, hati juga punya kebiasaan yang sulit diubah. Kalau kita bukan orang yang cerdik, jangan berharap mita mampu membersihkan debu yang bertumpuk di hati kita, karena hati pada hakekatnya sangat suka menyedot debu-debu agar melekat pada dirinya. Oleh sebab itulah, untuk mencegah debu tidak mudah melekat di hati, kita harus senantiasa mendekatkan diri pada cahaya Ilahi yang terpancar dari “cermin jernih“ yang pertama kali kita terima.
“Hibi ni tsumoru kokoro no chiri akuta, arai nagashite, waga o tasukeyou”. Puisi Jepang (haiku) ini karya Ninomiya Sontoku yang sangat terkenal. Interprestasi saya adalah, “kalau kita selalu membersihkan kotoran yang melekat di hati, maka kita akan tertolong dari kehidupan yang fana ini. “Nafsu” merupakan musuh besar dalam kehidupan manusia. “Waga” dalam ”waga tasukeyo” bermakna “sejatinya diri manusia”, artinya sama dengan “masu kagami” (cermin yang jernih). Manusia harus berkorban dalam hidupnya untuk membersihkan kotoran-kotoran yang bertimbun di hatinya.
Sejak kita lahir orang tua kita sudah beruhasa sekuat tenaga dan pikirannya memberi bimbingan, mendidik, dan berdo’a agar kita mampu mengibaskan debu-debu yang datang melekat pada hati kita. Akan tetapi, “keinginan”, “ego”, “kesombongan” diri kita yang dibawa oleh “reikon” atau saya sebut saja “syaitan” yang maha licik, telah meluluhlantakkan fondasi yang ditanamkan orang tua kita. Orang tua kita dalam do’anya kadang menangis menyesali pengharapannya yang gagal menjadikan kita anak yang saleh. “Audzubilahhimindzalik”, jangan sampai kita menjadi anak yang membuat orang tua kita menagis karena ulah dan prilaku kita.
Bahagianlah orang tua kita dengan menjadi anak yang saleh karena sesungguhnya Allah telah berfirman, “Dan, sesungguhnya telah kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwa bumi ini dipusakai hamba-hambak-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiyaa’:105)
Semoga kita tergolong orang-orang yang soleh yang mampu membahagiakan ke-dua orang tua kita, keluarga kita, sesama manusia di muka bumi ini. “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu, dengan kemulyaan-mu dan kerendahan kami, dengan kekuatan-mu dan kelemahan kami, dengan kekayaan-Mu dan kemiskinan kami, agar Engkau mau berbelas kasih kepada kami, bersihkanlah hati kami dari keraguan terhadap segla kekuasaan-Mu. Amiin
Senin, 12 April 2010
Kata “Ibu” dan “Ayah” akan Membuat Manusia Selalu Menangis
(dicopy dari tulisan Bp. Djojok Suparjo, Dozen Prodi Bahasa Jepang Unesa)
_==========================================================_
Entah sudah beberapa kali saya mengikuti upcara prosesi pengukuhan Guru Besar di Universitas tempat saya bekerja, entah berapa kali pula saya menyaksikan para Guru Besar tak berdaya menahan tetesan air mata mereka di penghujung orasinya.
Pada umumnya di akhir pidato pengukuhan Guru Besar ada bagian untuk menyampaikan ucapan terimaksih kepada semua orang yang telah berjasa mengantarkan mereka memperoleh jabatan tertinggi dalam bidang akademik tersebut. Sekuat apapun hati, secerdas apappun intelegensi mereka, pada saat sampai pada ucapan terimakasih yang ditujukan kepada kedua orangtuanya, sejenak selalu berhenti berusaha bembendung genangan air mata yang mulai menetes di kedua bela pipinya. Betapa dahsyatnya kata “Ibu” dan “Ayah” . Tidak berlebihan kalau kata-kata tersebut mengandung makna yang sangat magis hingga membuat seseorang terenyuh bila mendengarnya.
Saya pernah mengikuti sebuah pelatihan penyeimbangan otak kiri dan otak kanan. Pelatihan tersebut dikemas begitu cantik sehingga peserta benar-benar masuk ke dalam suasana sugesti sang pelatih. Di penghujung pelatihan kami diminta membayangkan ke dua orang tua kami karena sang pelatih akan membacakan “surat wasiat” yang dititipkannya kepadanya dari orang tua kami. Dari mulai sampai akhir dibacakan surat wasiat tersebut saya tak mampu menahan deraian air mata yang meluap disela kelopak mata saya. Surat wasiat tersebut isinya kira-kira seperti berikut. Saya tidak tahu bagaimana dengan Anda ketika membaca surat berikut ini. Tetapi coba Anda bayangkan, bagaimana kalau surat ini datang dari orang tua Anda sendiri.
Dear Anakku Tersayang
Anakku, surat ini Ibu dan Ayah tulis atas nama rindu yang besarnya hanya ALLAH yang tahu. Anakku sayang, menjadi ayah atau ibu itu sungguh indah dan mulia. Terlepas dari kecemasan Ayah dan Ibu ketika menanti kelahiranmu dulu yang masih dapat Ibu dan Ayah rasakan hingga kini. Bila Ibu dan Ayah kenang lagi kecemasan itu, terasa sangat indah karena didasari atas rasa cinta dan kasih sayang yang belum pernah Ibu dan Ayah rasakan sebelumnya.
Anakku, menjadi Ibu atau ayah itu sungguh mulia. Pernahkah engkau baca sejarah para nabi rosul Allah?. Di situ betapa banyak nasihat yang terbaik dicatat dari dialog antara orang tua dengan anak-anaknya. Meskipun demikian, ketahuilah nak, menjadi ibu atau ayah tidaklah mudah.
Ibu dan Ayah masih dapat mengenang masa-masa yang terlewat, antara desah ratap Ibu ketika berusaha melahirkanmu, dan kerinduan Ayah menanti kehadiranmu. Masih terbayang tubuh Ayah gemetar menyaksikan perjuangan Ibumu dalam proses melahirkanmu. Ibu dan kadang sebentar tertunduk layu dan sebentar tersenyum menatatap harapan atas keselamatanmu.
Kini, sepanjang masa keberadaanmu di sisi kami adalah salah satu masa terindah dan paling kami banggakan di depan siapapun, bahkan dihadapan ALLAH ketika ayah dan ibumu duduk tafakur dihadapan-Nya, hingga saat usia senja ini.
Anakku dambaan hati Ibu dan Ayah, masih terbayang dipelupuk mata Ibu dan Ayah saat engkau lahir dipangkuan ini. Kami cium dan kami timbang. Lalu engkau kami peluk erat-erat karena engkau kami anggap sebagai buah cinta kasih sayang antara Ibu dan Ayah. Engkau kami anggap sebagai bukti perekat jiwa Ibu dan Ayah yang tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.
Tapi seiring perkembangan waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata “TIDAK”!. Ibu dan Ayah terperangah, kata-kata itu betul-betul telah menggugah kesadaran ayah dan ibumu. Ayah mulai bertanya dalam hati, ”siapakah engkau sesungguhnya?”. Engkau ternyata bukan milik kami, Ibu dan Ayah nak. Engkau lahir, ternyata bukanlah semata karena cinta kasih Ibu dan Ayah. Engkau adalah milik ALLAH. Tak ada hak bagi kami menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata dan seharusnya hanya untuk ALLAH.
Anakku, hati Ibu dan Ayah terasa pedih, jiwa ini terasa terhempas ketika menyadari siapa sebenarnya kami dan siapa sebenarnya engkau. Dalam untaian waktu yang panjang, tat kala malam menjadi sunyi sepi, muncul penyesalan dalama hati atas kesalahan Ayah dan Ibu mu. Mengapa Ayah dan Ibu tidak mampu mendidik dan membahagiakan kamu Nak. Penyesalan itu keluar bersama deraian air mata di hadapan ALLAH.
Tapi walaupun begitu, Ibu dan Ayang senantiasa bersyukur, karena penyesalan itu membuat Ibu dan Ayah hidup lebih cerah dan lega. Dan kesadaran itu muncul Nak, satu-satunya upaya Ibu dan Ayah adalah berusaha mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu dengan melakukan segala sesuatu karena ALLAH, bukan karena Ibu dan Ayah.
Tugas Ibu dan Ayah bukanlah agar engkau dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai ALLAH. Inilah upaya terberat Ibu dan Nak, karena artinya Ibu dan Ayah harus terlebih dahulu memberi contoh kepadamu dekat dengan ALLAH. Keinginginan Ibu dan Ayah harus lebih dulu sesuai dengan keinginan ALLAH. Agar perjalananmu mendekati-Nya tak terlalu sulit dan sia-sia.
Kemudian, Ibu dan Ayanh masih ingat, ketika setapak demi setapak kau lankahkan kakimu. Ibu dan Ayah kadang tak mampu menghindarkan engkau dari kerikil tajam dan lumpur hitam perjalan ini. Ibu dan Ayah Cuma dapat mengenggam jemarimu dan merapatkan jiwa ini agar tidak terpisahkan.
Kini Ibu dan Ayah senantiasa berdo’a agar engkau dapat merasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya. Saat engkau mengeluh letih dalam sebuah perjalanan, Ibu dan Ayah telah berupaya sekuat tenaga menguatkanmu, karena hidup ini memang tidak boleh berhenti nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kata Ibu dan Ayah setiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.
Akhirnya Nak, kalau kelak ketika semua manusia dikumpulkan dihadapan-Nya dan kudapati jarak Ibu dan amat jauh dari-Nya (ALLAH), maka Ibu dan Ayah akan tulus ikhlas, karena itulah buah perilaku kami di dunia. Tetapi kalau boleh Ibu dan Ayah berharap, Ibu dan Ayah ingiiiiin sekali melihatmu dekat dengan ALLAH. Tentu Ibu dan Ayah bangga, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa Ibu dan Ayah kembalikan kepada pemilik-Nya.
Maafkan Ibu dan Ayahmu Nak
Dari Ibu dan Ayah yang senantiasa
merindukanmu.
Catatan;
(Saya tak kuasa menuliskan nya lagi)
_==========================================================_
Entah sudah beberapa kali saya mengikuti upcara prosesi pengukuhan Guru Besar di Universitas tempat saya bekerja, entah berapa kali pula saya menyaksikan para Guru Besar tak berdaya menahan tetesan air mata mereka di penghujung orasinya.
Pada umumnya di akhir pidato pengukuhan Guru Besar ada bagian untuk menyampaikan ucapan terimaksih kepada semua orang yang telah berjasa mengantarkan mereka memperoleh jabatan tertinggi dalam bidang akademik tersebut. Sekuat apapun hati, secerdas apappun intelegensi mereka, pada saat sampai pada ucapan terimakasih yang ditujukan kepada kedua orangtuanya, sejenak selalu berhenti berusaha bembendung genangan air mata yang mulai menetes di kedua bela pipinya. Betapa dahsyatnya kata “Ibu” dan “Ayah” . Tidak berlebihan kalau kata-kata tersebut mengandung makna yang sangat magis hingga membuat seseorang terenyuh bila mendengarnya.
Saya pernah mengikuti sebuah pelatihan penyeimbangan otak kiri dan otak kanan. Pelatihan tersebut dikemas begitu cantik sehingga peserta benar-benar masuk ke dalam suasana sugesti sang pelatih. Di penghujung pelatihan kami diminta membayangkan ke dua orang tua kami karena sang pelatih akan membacakan “surat wasiat” yang dititipkannya kepadanya dari orang tua kami. Dari mulai sampai akhir dibacakan surat wasiat tersebut saya tak mampu menahan deraian air mata yang meluap disela kelopak mata saya. Surat wasiat tersebut isinya kira-kira seperti berikut. Saya tidak tahu bagaimana dengan Anda ketika membaca surat berikut ini. Tetapi coba Anda bayangkan, bagaimana kalau surat ini datang dari orang tua Anda sendiri.
Dear Anakku Tersayang
Anakku, surat ini Ibu dan Ayah tulis atas nama rindu yang besarnya hanya ALLAH yang tahu. Anakku sayang, menjadi ayah atau ibu itu sungguh indah dan mulia. Terlepas dari kecemasan Ayah dan Ibu ketika menanti kelahiranmu dulu yang masih dapat Ibu dan Ayah rasakan hingga kini. Bila Ibu dan Ayah kenang lagi kecemasan itu, terasa sangat indah karena didasari atas rasa cinta dan kasih sayang yang belum pernah Ibu dan Ayah rasakan sebelumnya.
Anakku, menjadi Ibu atau ayah itu sungguh mulia. Pernahkah engkau baca sejarah para nabi rosul Allah?. Di situ betapa banyak nasihat yang terbaik dicatat dari dialog antara orang tua dengan anak-anaknya. Meskipun demikian, ketahuilah nak, menjadi ibu atau ayah tidaklah mudah.
Ibu dan Ayah masih dapat mengenang masa-masa yang terlewat, antara desah ratap Ibu ketika berusaha melahirkanmu, dan kerinduan Ayah menanti kehadiranmu. Masih terbayang tubuh Ayah gemetar menyaksikan perjuangan Ibumu dalam proses melahirkanmu. Ibu dan kadang sebentar tertunduk layu dan sebentar tersenyum menatatap harapan atas keselamatanmu.
Kini, sepanjang masa keberadaanmu di sisi kami adalah salah satu masa terindah dan paling kami banggakan di depan siapapun, bahkan dihadapan ALLAH ketika ayah dan ibumu duduk tafakur dihadapan-Nya, hingga saat usia senja ini.
Anakku dambaan hati Ibu dan Ayah, masih terbayang dipelupuk mata Ibu dan Ayah saat engkau lahir dipangkuan ini. Kami cium dan kami timbang. Lalu engkau kami peluk erat-erat karena engkau kami anggap sebagai buah cinta kasih sayang antara Ibu dan Ayah. Engkau kami anggap sebagai bukti perekat jiwa Ibu dan Ayah yang tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.
Tapi seiring perkembangan waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata “TIDAK”!. Ibu dan Ayah terperangah, kata-kata itu betul-betul telah menggugah kesadaran ayah dan ibumu. Ayah mulai bertanya dalam hati, ”siapakah engkau sesungguhnya?”. Engkau ternyata bukan milik kami, Ibu dan Ayah nak. Engkau lahir, ternyata bukanlah semata karena cinta kasih Ibu dan Ayah. Engkau adalah milik ALLAH. Tak ada hak bagi kami menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata dan seharusnya hanya untuk ALLAH.
Anakku, hati Ibu dan Ayah terasa pedih, jiwa ini terasa terhempas ketika menyadari siapa sebenarnya kami dan siapa sebenarnya engkau. Dalam untaian waktu yang panjang, tat kala malam menjadi sunyi sepi, muncul penyesalan dalama hati atas kesalahan Ayah dan Ibu mu. Mengapa Ayah dan Ibu tidak mampu mendidik dan membahagiakan kamu Nak. Penyesalan itu keluar bersama deraian air mata di hadapan ALLAH.
Tapi walaupun begitu, Ibu dan Ayang senantiasa bersyukur, karena penyesalan itu membuat Ibu dan Ayah hidup lebih cerah dan lega. Dan kesadaran itu muncul Nak, satu-satunya upaya Ibu dan Ayah adalah berusaha mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu dengan melakukan segala sesuatu karena ALLAH, bukan karena Ibu dan Ayah.
Tugas Ibu dan Ayah bukanlah agar engkau dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai ALLAH. Inilah upaya terberat Ibu dan Nak, karena artinya Ibu dan Ayah harus terlebih dahulu memberi contoh kepadamu dekat dengan ALLAH. Keinginginan Ibu dan Ayah harus lebih dulu sesuai dengan keinginan ALLAH. Agar perjalananmu mendekati-Nya tak terlalu sulit dan sia-sia.
Kemudian, Ibu dan Ayanh masih ingat, ketika setapak demi setapak kau lankahkan kakimu. Ibu dan Ayah kadang tak mampu menghindarkan engkau dari kerikil tajam dan lumpur hitam perjalan ini. Ibu dan Ayah Cuma dapat mengenggam jemarimu dan merapatkan jiwa ini agar tidak terpisahkan.
Kini Ibu dan Ayah senantiasa berdo’a agar engkau dapat merasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya. Saat engkau mengeluh letih dalam sebuah perjalanan, Ibu dan Ayah telah berupaya sekuat tenaga menguatkanmu, karena hidup ini memang tidak boleh berhenti nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kata Ibu dan Ayah setiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.
Akhirnya Nak, kalau kelak ketika semua manusia dikumpulkan dihadapan-Nya dan kudapati jarak Ibu dan amat jauh dari-Nya (ALLAH), maka Ibu dan Ayah akan tulus ikhlas, karena itulah buah perilaku kami di dunia. Tetapi kalau boleh Ibu dan Ayah berharap, Ibu dan Ayah ingiiiiin sekali melihatmu dekat dengan ALLAH. Tentu Ibu dan Ayah bangga, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa Ibu dan Ayah kembalikan kepada pemilik-Nya.
Maafkan Ibu dan Ayahmu Nak
Dari Ibu dan Ayah yang senantiasa
merindukanmu.
Catatan;
(Saya tak kuasa menuliskan nya lagi)
Langganan:
Postingan (Atom)